adalah sebuah harapan ketika kuingin terbang bersamamu, melintasi awan dan menembus atmosfer, lalu ku bebas melayang-layang
Sudah kubilang
kepadamu untuk tidak mengantarku ke stasiun. Tapi, kau memang orang paling
keras kepala yang pernah ku kenal. Sore itu di stasiun Tugu, kau dan aku turun
dari taksi. Sudah kubilang juga jangan mengantarku sampai dalam. Tapi tak kau
pedulikan kata-kataku.Kau menggandeng
lenganku, erat. Seakan tak mau ditinggal pergi. Aku jadi serba salah. Kau
bilang aku harus pergi mencapai mimpiku, tapi tanganmu yang ada dilenganku
mengisyaratkan yang lain.
Keretaku datang
sekitar setengah jam lagi. Kereta ekonomi yang nantinya membawaku ke ibu kota
Jawa Barat. Kau dan aku berbicara dalam diam. Aku tidak tahu harus bilang
apalagi. Jujur aku sedih, aku tidak mau pergi jauh darimu. Tapi sebagai pria
dan bukan cowok, aku tidak boleh terlihat cengeng, apalagi di depanmu. Orang
pertama yang membuatku tampak tolol dan bodoh di depan teman-temanku.
*
Siang itu aku
melihatmu di bangku penonton. Babak kedua futsal antar angkatan dimulai dalam
beberapa detik lagi. Dalam beberapa detik itu pula mataku dan matamu bertemu.
Entah sengaja atau tidak kau memandangku. Dalam beberapa detik itu tubuhku
rasanya kaku, susah sekali digerakkan. Dan jantungku berdegup entah sekencang
apa, sampai perutku mulas. Senyumku, ku tahan kuat-kuat agar siapapun tidak
bisa melihat lengkungan mengembang diwajahku. Tapi sial. Aku salah tingkah.
Setengah mati rasanya. Bola yang dioper ke arahku kudiamkan saja karena kakiku
masih kaku. Tatapan matamu itu, dek, membuat aku dihujat teman-temanku. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku terlihat sangat tolol di depan teman-temanku.
Sejak saat itu
pikiranku tak pernah jauh darimu. Setiap hari kudengar namamu disebut hampir
setiap orang yang kutemui dikampus. Akupun jadi lebih sering melihatmu,
dimanapun. Soundtrack hidupku
berubah, jadi lagu paling cengeng untuk seorang pria. Lagu Menghitung Hari
selalu kumainkan dengan petikan gitarku setiap sebelum tidur. Cupu!
Beberapa hari yang lalu kudengar lagu
itu dinyanyikan olehmu. Dengan petikan gitar asal-asalan dan suaramu yang
cempreng, tapi ingatan itu manis. Lalu air matamu jatuh menetes di pipi. Aku
ingin memelukmu, tapi aku tidak bisa. Bukan karena apa, tapi aku benar-benar
tidak mau ada hal-hal semacam itu ketika status kita masih pacaran. Aku hanya
memandangmu lekat-lekat dan ikut merasakan kesedihanmu yang akan kutinggal
berkarir.
Selesai memainkan lagu itu, kamu balik
menatapku, dalam. Air matamu sudah tidak menetes lagi. Lalu kamu senyum, senyum
tertulus yang pernah ku lihat selama ini. Hatiku mencelos. Kamu tidak berkata
banyak, namun masih terngiang sampai sekarang.
‘aku tidak mau
berhenti bermimpi, bersamamu.’
Aku senang, selama ini aku benar memilih
partner. Ya, sebut kita partner. Kita saling mendukung mewujudkan ide dan
impian kami selama beberapa bulan terakhir ini. Karya kita yang terakhir baru
di launching sebulan lalu. Sekarang
sudah tersebar di toko-toko buku seIndonesia. Buku dongeng untuk anak-anak
dimana aku menjadi penulis dan kau menggambarkannya dengan ilustrasimu.
*
Tanganmu semakin erat memeluk
lenganku.Wajahmu tidak sedih lagi. Malah tersenyum. Melihatmu tersenyum,
senyumku ikut mengembang. Akhirnya kami berbicara setelah sekian lama sunyi.
‘Nanti kalo sudah sampai, jangan lupa
kabari ya.’
‘Lewat surat?’ candaku.
‘Keburu gila nunggu kabarmu pake surat.’
‘Biar romantislah.’
‘Hahaha, bukan kamu banget bilang
romantis. Romantismu itu kalo kamu lagi marahin aku gara-gara dateng telat
padahal kamu baru nunggu lima menit.’
‘Hmmm...aku bukan orang paling on time.
Tapi aku nggak mau bikin kamu khawatir karena kabarku.’
Sekali lagi, aku bangga terhadapmu.
Mungkin aku tidak akan bisa jauh-jauh darimu. Mungkin jarak yang memisahkan kita
akan membuatku haus. Haus ketika kita berbicara tentang impian dan ide gila
serta perasaan puas ketika kita berhasil mewujudkannya. Mimpi terbesar kita,
aku sangat ingat, aku tidak mau berhenti. Pun ganti partner. Mungkin aku hanya
bisa mewujudkannya bersamamu. Bersama orang yang sama-sama mempunyai imipan
besar yang sama denganku. Dan pastinya orang yang tidak mudah mengeluh
sepertimu. Aku tahu, pasti susah sekali berpura-pura tersenyum ketika di
stasiun tadi. Aku tahu pasti hatimu sedih, tapi kau berusaha tegar. Padahal
semua terbaca sangat jelas. Bahkan pelukan tanganmu berbicara demikian.
Aku salut denganmu yang setegar itu. Aku
tidak mau kalah.
Lalu aku bangga pada diriku sendiri.
Jangan sebut aku
lelaki bila tak bisa dapatkan engkau
ah!
No comments:
Post a Comment