Halo, kikokiky.
Hai, kataku sambil tersenyum. Bukan melihatmu, tapi memandang layar tiga inci yang kugenggam.
Satu sapaan yang membuat orang melambung. Kalau ku bilang semesta yang mempertemukan kita, sepertinya terlalu berlebihan. Jadi kuanggap ini sebuah bonus.
beberapa hari lalu
Dari stasiun kami melanjutkan perlajalan ke suatu tempat,
Kamu mengajakku ke pantai. Tempat favoritku, dimana alunan musik alam dimainkan. Pagi tahu, aku suka matahari tenggelam. Sepertinya dia tahu semua kesukaanku. Kami bermain di pantai. Menerjang ombak, diterjang ombak, bermain pasir, berlarian dan duduk bersebelahan sambil melihat matahari pulang.
'Kamu senang?'
'Iya.' 'Terimakasih, Pagi.'
Senyum.
'Liat sunset udah, besok mau liat sunrise? Eh, tapi kamu nggak suka sunrise ya?'
'Mungkin kalo dilihat dari pantai ini bagus. Nggak masalah, sih.'
Malam.
Dibawah bulan, bintang, planet mars dan bimasakti, api unggun kecil dan sepanci indomi yang sedang direbus. Masih dipinggir pantai.
'Aku mau main cat air.'
'Mau dong diajarin. Mau ngelukis laut? Kan gelap.'
'Bukan, ngelukis api sama indomi. Sini, ku ajarin.'
Kertas A3 putih berubah menjadi merah, api dan sepanci indomi tiga jam kemudian. Lukisan kami jadi. Aku suka. Lukisan itu bercerita tentang kebersamaan kita menikmati malam dipinggir pantai.
Sepertiga malam terakhir kita gunakan untuk bercerita. Tentangmu, tentang aku, masa depan, cita-cita dan banyak lagi. Kantuk tak terasa. Dingin juga tak terasa meskipun api unggun sudah padam. Pasang surut air laut setia menemani kami.
Waktu berjalan cepat sekali hingga akhirnya sesuatu yang hangat membelai di tengkuk. Sudah hampir setengah tujuh. Tak terasa.
Gagal liat sunrise. Kamu bete.
Yasudah, tidak apa. Dari kemarin juga sudah bersamanya.
c.i.e |
Halo, kikokiky.
Hai, kataku sambil tersenyum. Bukan melihatmu, tapi memandang layar tiga inci yang kugenggam.
No comments:
Post a Comment