"Kamu adalah sebuah kesalahan menikmati secangkir cokelat panas malam ini."
Dari tadi kamu sibuk, menatap layar laptopmu dengan jemarimu menari lincah diatas keyboard. Dengan bunyi cetak-cetik ratusan kali yang kudengar diantara kuping yang kusumpal dengan instrumental piano. Kadang bola mata nakalku tak bisa ditahan mengerling dari layar laptop ke kamu yang sedang serius. Lalu senyum kecil melengkung dan panas terasa dipipiku.
Hampir setiap hari kita bertemu disudut meja situ. Lalu semesta mengatur agar kamu selalu duduk tepat di depanku. Kamu selalu fokus dengan layarmu, sedang aku terlalu fokus memperhatikan gerak-gerikmu.
Sore itu kamu duduk lagi didepanku, mengajakku minum kopi di kafe favoritmu. Aku duduk menyeruput cokelat panas dibelakang layarmu. Seperti biasa. Bola mataku tak pernah bisa lepas dari balik layarku.
Kita sudah lama bersama, mungkin dari awal kita diperkenalkan semesta. Sudah lama pula kita saling bertukar cerita atau membunuh waktu bersama. Bagiku kita adalah satu diantara berapa ratus kesalahan yang tercipta. Kita adalah dua manusia yang masing-masing memeluk mimpi.
Sore itu kamu bercerita tentang mimpi besarmu. Aku hanya bisa mengagumi dan berdoa dalam hati. Agar suatu saat aku bisa bersamamu mewujudkan mimpi itu. Atau kau bersamaku mewujudkan mimpiku. Pikiran yang selalu dan selalu muncul yang kuanggap adalah penyakit pemimpi. Terlalu muluk-muluk.
Tapi sore itu kamu bilang aku adalah bagian besar dari mimpimu, katamu aku yang akan mewujudkannya bersamamu. Senyum getir melengkung diwajahku. Akhirnya tertawa lepas tak bisa lagi ku tahan. Kamu bingung. Aku hanya bisa terus tertawa sembari menunggumu bertanya kenapa.
Kamu punya dia, yang mungkin sedang menunggumu bercerita tentang mimpimu. Dan aku memegang mimpinya, lelaki yang dua tahun lalu memberikan seluruh mimpinya untukku. Menungguku dialam sana untuk melihatku mewujudkannya.
Tapi sore itu kamu bilang aku adalah bagian besar dari mimpimu, katamu aku yang akan mewujudkannya bersamamu. Senyum getir melengkung diwajahku. Akhirnya tertawa lepas tak bisa lagi ku tahan. Kamu bingung. Aku hanya bisa terus tertawa sembari menunggumu bertanya kenapa.
Kamu punya dia, yang mungkin sedang menunggumu bercerita tentang mimpimu. Dan aku memegang mimpinya, lelaki yang dua tahun lalu memberikan seluruh mimpinya untukku. Menungguku dialam sana untuk melihatku mewujudkannya.
Bukan salah mimpi, tapi kita. Mungkin seharusnya bukan kamu yang duduk didepanku bersama secangkir kopimu. Atau bisa jadi aku adalah kesalahan bagimu, bukan aku yang duduk didepanmu dengan secangkir cokelat panasku.
***
Note:
lama nggak nulis fiksi, selamat datang kembali hobi yang muncul dikala dekat deadline
cheers!
***
Note:
lama nggak nulis fiksi, selamat datang kembali hobi yang muncul dikala dekat deadline
cheers!
No comments:
Post a Comment