Kata orang hati bagaikan bom waktu, akan meledak pada saat yang sudah ditentukan oleh semesta. Ini waktu dimana aku bersiap merasakan dahysatnya ledakan bom waktuku. Bersiap.
Sore ini aku sudah siap. Koper berisi puluhan pakaian yang berjejalan yang asal ku masukkan dan tas ransel berisi dompet, minuman, camilan, handphone, ipad, dan jaket pun sudah siap di depan pintu. Tiket kereta ekonomi, semoga sudah berada dalam kantong celana.
Tidak lama kemudian sebuah klakson terdengar dari dalam kamar. Ah dia sudah tiba, ini waktunya, pikirku lagi. Dengan perasaan campur aduk antara senang, sedih, takut, akupun menyambutnya. Tentu saja cara jalanku kaku, tak seperti biasanya. Entahlah.
Mobil melaju membawa kami menyusuri jalan Sudirman dengan santai. Kami diam, tetapi tidak pada pikiranku. Badanku tegang, bak badan dengan tulang tapi tanpa otot. Suara musik klasik mengalun pelan dari tape. Tapi, bahkan suara itupun tidak membuatku lebih rileks. Aku terlalu dalam menyelam dalam pikiran yang terlalu sinting. Apakah bom waktu akan meledak saat ini?
Dalam diam kami berbicara pada diri masing-masing. Otak kananku bertengkar dengan otak kiri, satu sisi akan meledakkan bom, sisi lain mencegah. Hampir saja bom waktu itu meledak sendiri disana, untung rem mendadak melerai semua pertengkaran itu.
Tak lama kami berhenti, diparkiran Stasiun Tugu yang sore itu cukup ramai. Dia mengantarku sampai pintu masuk stasiun. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Aku hanya berbicara ketika dia bertanya. Oke, kali ini kegugupanku bertambah parah. Badanku kaku semua. Mulutku dengan susah payah menjawab pertanyaannya dengan ya atau tidak atau hehem. Kadang hanya mengangguk atau menggeleng. Sialnya keretaku datang 30 menit lagi. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Bom waktu, teringat lagi. Hah~
Dia terus bertanya padaku, dijemput siapa saat aku tiba disana nanti, apa yang akan aku lakukan sesampainya disana, bertanya padaku sekali lagi apakah ada yang tertinggal. Dan masih saja aku menjawab dengan hanya ya atau tidak atau hehem serta anggukan dan gelengan. Pikiranku tidak fokus padanya. Hanya pada bom waktu. Detiknya terus berhitung mundur, entah cuma perasaan atau apa tapi angka pada bomnya berganti lebih cepat. Seperti jantung yang berdegup lebih kencang.
enam
lima
empat
tiga
dua
satu
...
Akhirnya aku memutuskan untuk meledakkannya sekarang.
"Ehm, Putra, sayaaa mau bilang..."
"Eh, itu kereta kamu sudah datang. Hati-hati dijalan, nggak ada sesuatu yang tertinggal kan?"
Ada! Ada Putra. Sesuatu yang tertinggal jauh didalam sana. Apa kau benar-benar tidak tahu?
Keretapun melaju bersama dengan matahari tenggelam. Tak kalah aku pun juga tenggelam dalam lamunanku. Walaupun bom waktu tidak jadi meledak, aku lega. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat ini. Mungkin nanti, kalau semesta sudah ikut andil dalam masalah ini semua akan terjawab. Apakah dia akan tetap meledakkannya atau memutuskan kabelnya.
Semesta, putuskan saja kabelnya. Bisikku pada-nya.
FIKSI
No comments:
Post a Comment